Dengan adanya penetapan physical distancing yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, berbagai kegiatan terpaksa dilakukan dari jarak jauh demi memutuskan rantai penyebaran COVID-19, seperti telekonferensi, work from home, e-litigasi, dan lain sebagainya.
Salah satu kegiatan yang terdampak dari kondisi ini adalah penandatangan dokumen secara langsung. Kebutuhan administratif perkantoran, pendidikan, hingga pengadilan pun membatasi pertemuan secara tatap muka. Perjanjian-perjanjian, pelengkapan dokumen, hingga pengeluaran keputusan mulai dilakukan dan dikoordinasikan secara daring, sehingga setiap tanda tangan yang dibubuhkan tidak lagi menggunakan tanda tangan basah. Hal tersebut dapat digantikan dengan tanda tangan elektronik (digital signature) atau bentuk konfigurasi lainnya.
Penggunaan tanda tangan elektronik sudah lumrah digunakan jauh sebelum adanya pembatasan sosial ini. Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi dan otentifikasi atas identitas penandatanganan sekaligus untuk menjamin keutuhan dan keautentikan dokumen. Tanda tangan ini bisa dalam bentuk yang tersertifikasi maupun yang tidak. Sertifikasi elektronik terhadap tanda tangan dilakukan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Pembuktian keaslian tanda tangan elektronik menjadi mudah ketika tanda tangan telah memiliki sertifikat tersebut. Sebaliknya, tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi memiliki sifat pembuktian terbalik – di mana apabila pihak yang bersangkutan menyatakan dan menunjukkan bahwa tanda tangan elektronik yang ada tersebut bukanlah miliknya.
E-Court merupakan suatu bentuk reformasi Mahkamah Agung RI di bidang teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem peradilan. Dokumen elektronik terkait diunggah dalam bentuk soft copy. Dalam administrasi penanganan perkara, e-court menerapkan e-filling, e-payment, e-summons, dan e-litigasi. Semua ini tentu dilakukan secara jarak jauh sehingga otentifikasi dengan tanda tangan elektronik juga lumrah digunakan.
Mahkamah Agung sendiri mendukung penggunaan tanda tangan elektronik ini sekaligus dalam rangka mendukung e-government. Dilansir dari situs web Mahkamah Agung, data atau dokumen yang ditanda tangan secara elektronik (tersertifikasi) lebih terjamin dari modifikasi oleh pihak yang tidak berwenang, juga memudahkan dalam proses pembuktian dibandingkan dengan tanda tangan manual yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium forensik untuk membuktikan keasliannya.