Sebagai upaya solusi social distancing dalam menangani pandemi Corona Pemerintah telah melarang adanya keramaian bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bahkan ibadah keagamaan saja tidak dilaksanakan oleh tempat ibadah, masyarakat dihimbau untuk menyelenggarakan ibadahnya dirumah masing – masing. Hingga saat ini telah dikeluarkan Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor MAK/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Co Vid 19), khususnya Poin 2 a menyebutkan:
“tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu:
- pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis;
- kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga;
- kegiatan olah raga, kesenian, dan jasa hiburan;
- unjuk rasa, pawai, dan karnaval; serta
- kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa.”
Lantas bagaimana dengan dana acara seperti konser, pernikahan dan acara lain yang sudah direncanakan dari sebelum – sebelumnya? Untuk mengatasi penyebaran Co Vid 19 acara yang sudah dipersiapkan tidak dapat dijalankan selama Pandemi masih berlangsung, namun permasalahannya terdapat pihak yang sudah memberikan Down Payment (DP) atau uang muka kepada vendor sebagai pemilik tempat, catering, atau kebutuhan lainnya. DP ini dapat juga dikatakan sebagai uang jaminan dari penyelenggara acara kepada vendor bahwa perjanjian akan dilakukan dan dibayarkan pada saat tanggal penyelenggaraan. Umumnya apabila penyelenggara acara membatalkan acara maka DP tidak dapat dikembalikan dari vendor karena dianggap sebagai ganti rugi yang dibayar ke vendor.
Namun, pembatalan dari penyelenggara tidak semata – mata tidak beralasan. Kadangkala penyelenggara acara atau dalam hal ini sebagai Debitur membatalkan perjanjian apabila terdapat Force Majeure (keadaan memaksa). dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) terdapat 2 pasal yang mengatur mengenai Force Majeure. Pasal 1244 berbunyi:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Kemudian Pasal 1245 KUHPer juga mengatur mengenai Force Majeure. yang mengatur:
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Dari pasal – pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa unsur dari Force Majeure adalah:
- adanya kejadian yang tidak terduga;
- adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
- ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
- ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
Kejadian Corona telah memenuhi unsur tersebut, sehigga dapat dikatakan sebagai Force Majeure. Dalam teori dan doktrin perlu diketahui bahwa terdapat 2 macam kejadian Force Majeure, yang pertama adalah yang bersifat absolut. Force Majeure absolut terjadi ketika kewajiban sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh Debitur kapan pun itu, dalam hal ini Debitur tidak perlu membayar uang ganti rugi kepada Kreditur karena itu bukan kesalahannya dan bagaimanapun juga kewajiban tidak dapat dilaksanakan.
Jenis yang kedua adalah bersifat relatif yang terjadi apabila kewajiban dapat dilaksanakan tapi membutuhkan biaya lebih atau penundaan. Apabila yang terjadi adalah Force Majeure yang bersifat relatif maka terdapat kemungkinan bahwa Debitur tetap harus membayar ganti rugi kepada Kreditur. Maka apabila gagalnya penyelenggaraan acara akibat tetap dilaksanakan apabila Pandemi telah berlalu itu artinya kejadian ini merupakan Force Majeure yang bersifat relatif dan vendor sebagai Kreditur tidak perlu mengembalikan uang DP. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi kesepakatan antara Debitur dan Kreditur yang menyatakan lain atau mungkin dalam perjanjian diawal mereka sudah sepakat bahwa apabila timbul kejadian semacam ini maka DP akan dikembalikan. Apabila belum terdapat kesepakatan diawal apabila timbul Force Majeure maka Kami sarankan untuk Debitur melakukan negosiasi kembali kepada Kreditur.
Penulis atas kejadian ini juga menyarankan bahwa lebih baik untuk membuat kesepakatan diawal terkait Force Majeure dan dituangkan dalam perjanjian antar para pihak.